Jumat, 26 November 2010

tugas softskill

ETIKA PROFESI DAN MUTU AUDIT

KANTOR AKUNTAN PUBLIK

PENDAHULUAN

Semakin tingginya tuntutan masyarakat akan informasi yang andal dari perusahaan, membuat profesi akuntan publik semakin diperlukan. Walaupun Arrens, dkk (2003:14) meyebutkan bahwa untuk memperoleh informasi yang andal dari manajemen ada tiga alternatif yang bisa dilakukan yaitu (1) Pengguna informasi menguji informasi yang diperolehnya, (2) Pengguna informasi berbagi resiko informasi dengan manajemen, dan (3) Laporan keuangan yang diaudit telah tersedia. Namun dengan pertimbangan waktu dan biaya, serta sulitnya berbagi resiko dengan manajemen, maka alternatif yang ketiga-lah yang mungkin untuk dilakukan.

Berprofesi sebagai akuntan publik, profesionalisme merupakan syarat utama profesi ini. Karena selain profesi yang bekerja atas kepercayaan masyarakat, kontribusi akuntan publik terhadap ekonomi sangatlah besar. Kinney (1975) dalam Suta dan Firmanzah (2006) mengatakan peran auditor untuk meningkatkan kredibilitas dan reputasi perusahaan sangatlah besar. Selain itu beberapa peneliti seperti Peursem (2005) melihat bahwa auditor memainkan peranan penting dalam jaringan informasi di suatu perusahaan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Gjesdal (1981) dalam Suta dan Firmanzah (2006) juga mengatakan bahwa peranan utama auditor adalah menyediakan informasi yang berguna untuk keperluan penyusunan kontrak yang dilakukan oleh pemilik atau manajer perusahaan. Logika sederhananya bahwa agar mesin perekonomian suatu negara dapat menyalurkan dana masyarakat kedalam usaha-usaha produktif yang beroperasi secara efisien, maka perlu disediakan informasi keuangan yang andal, yang memungkinkan para investor untuk memutuskan kemana dana mereka akan di investasikan. Untuk itu dibutuhkan akuntan publik sebagai penilai kewajaran informasi yang disajikan manajemen. Jadi jelaslah bahwa begitu besarnya peran akuntan publik dalam perekonomian, khususnya dalam lingkup perusahaan menuntut profesi ini untuk selalu profesional serta taat pada etika dan aturan yang berlaku.

Beranjak dari itu semua, dewasa ini peran auditor telah menjadi pusat kajian dan riset dikalangan kademisi. Tidak hanya itu, praktisi juga semakin kritis dengan selalu menganalisa kontribusi apa yang telah diberikan auditor. Hal tersebut sah-sah saja dilakuakan mengingat pentingnya peran auditor. Apalagi auditor bisa dibilang sebagai pihak kepercayaan masyarakat (investor) dalam memastikan informasi yang andal. Jadi wajar rasanya jika masyarakat turut mengawasi hasil pekerjaan auditor. Selain itu beberapa tahun terakhir, terutama sejak runtuhnya beberapa perusahaan raksasa dunia, profesi akuntan publik banyak mendapat sorotan dan kritikan dari masyarakat. Akuntan publik menjadi salah satu kandidat penyebab runtuhnya perusahaan tersebut.

Artikel ini akan memaparkan bagaimana etika profesi itu sebenarnya? Apa yang sudah dilakukan organisasi profesi serta para akuntan publik? Kaitan antara etika profesi terhadap kualitas audit kantor akuntan publik, serta beberapa fenomena yang selama ini terjadi dilapangan.

ETIKA PROFESI : Konsep dan Aturan?

Pada tanggal 23 Desember 1957 bertempat di aula Universitas Indonesia tepatnya pukul 19.30 wib dibentuklah suatu wadah untuk menampung para akuntan Indonesia yang dikenal dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). IAI terdiri dari empat kompartemen yang salah satunya adalah Kompartemen Akuntan Publik. Kompartemen Akuntan Publik merupakan wadah untuk menmpung para akuntan yang berpraktek dalam profesi akuntan publik. Didalam Kompartemen Akuntan Publik dibentuk badan yang bertanggung jawab untuk menyusun standar yang digunakan akuntan publik dalam penyediaan jasanya pada masyarakat. Badan penyusun standar (standars setting body) ini dikenal dengan Dewan Standar Profesional Akuntan Publik.

Selain SPAP, organisasi profesi juga mengeluarkan aturan lain yang salah satunya adalah etika profesional. Dasar pikiran yang melandasi penyusunan etika profesional adalah kebutuhan profesi akan kepercayaan masyarakat terhadap mutu audit yang diberikan profesi. Masyarakat akan sangat menghargai profesi yang menerapkan standar mutu tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan anggota profesi, karena dengan demikian masyarakat akan merasa terjamin untuk memperoleh jasa yang dapat diandalkan dari profesi yang bersangkutan. Kepercayaan masyarakat terhadap mutu audit akan menjadi lebih tinggi jika profesi akuntan publik menerapkan standar mutu yang tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan audit yang dilakukan oleh anggota profesi tersebut (Mulyadi:2002).

Sebelum tahun 1986, etika profesional yang dikeluarkan IAI diberi nama Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia. Namun dalam kongres tahun 1986, etika profesi ini diubah menjadi Kode Etik Akuntan Indonesia. Tahun 1998 hingga sekarang nama tersebut kembali diubah menjadi Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari delapan prinsip etika yang berlaku bagi seluruh anggota IAI. Kedelapan prinsip tersebut adalah Tanggung Jawab Profesi, Kepentingan Publik, Integritas, Objektivitas, Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional, Kerahasiaan, Prilaku Profesional, dan terakhir Standar Teknis.

Selain delapan prinsip etika diatas, Kompartemen Akuntan Publik juga memiliki aturan etika yang dikenal dengan aturan etika Kompartemen Akuntan Publik yang merupakan penjabaran dari delapan prinsip etika IAI diatas. Secara garis besar kerangka aturan etika Kompartemen Akuntan Publik adalah sebagai berikut :

Seperti yang telah disinggung diatas, Kompartemen Akuntan Publik juga memiliki Dewan Standar Profesional Akuntan Publik. Dewan inilah yang bertugas untuk mengeluarkan Standar Profesional Akuntan Publik. Berbagai jenis jasa yang disediakan oleh profesi akuntan publik kepada masyarakat didasarkan pada panduan yang tercantum dalam Standar Profesional Akuntan Publik. Standar Profesional Akuntan Publik berupa buku yang berisi kodifikasi berbagai standar dan aturan etika Kompartemen Akuntan Publik. Ada lima macam tipe standar profesional yang diterbitkan oleh Dewan sebagai aturan mutu pekerjaan akuntan publik : pertama, Standar Auditing; kedua, Standar Atestasi; ketiga, Standar Jasa Akuntansi dan riview; keempat, Standar Jasa Konsultasi; dan kelima, Standar Pengendalian Mutu.

Secara wajar, penyusunan aturan etika profesional serta pembuatan standar tersebut memang patut kita dukung. Sesuai dengan isi visi Ikatan Akuntan Indonesia yaitu menjadi organisasi profesi terdepan dalam pengembangan pengetahuan dan praktek akuntansi, manajemen bisnis dan publik, yang berorientasi pada etika dan tanggungjawab sosial, serta lingkungan hidup dalam perspektif nasional dan internasional. Kita semua berharap dan juga yang diinginkan IAI, etika profesional tersebut merupakn konsep sekaligus aturan yang wajib dilaksanakan oleh setiap anggota profesi. Logikanya, jika sesuatu itu wajib maka pasti akan ada konsekuensi jika yang bersangkutan tidak menjalankannya. Namun jika kita melihat fenomena yang ada, etika profesional tersebut hanya sekedar konsep bukan aturan. Artinya, walaupun IAI menetapkan etika profesional sebagai konsep sekaligus aturan, banyak para anggota profesi yang menafsirkan itu hanya sebagai konsep belaka. Dibawah ini akan diuraikan betapa aturan etika hanya dianggap sebagai konsep bukan aturan.

PELANGGARAN ETIKA : Gosip atau Realita?

Hajatan IAI menetapkan etika profesional sebagai aturan merupakan satu hal, namun pelanggaran terhadap etika yang dilakukan anggota profesi merupakan hal lain yang harus dipertimbangkan. Begitulah ungkapan sederhana yang cocok untuk menyadarkan kita bersama. Seiring dengan berkembangnya dunia usaha, semakin berkembang pula profesi akuntan publik. Semakin tingginya kebutuhan masyarakat akan informasi yang andal, semakin meningkat pula kebutuhan akan akuntan publik. Namun sayang peningkatan kebutuhan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan etika dari profesi ini. Sesuatu yang menjadi “ujung tombak” profesi dalam membangun kepercayaan masyarakat justru menjadi sesuatu yang tidak dianggap. Kata-kata tersebut memang tidak berlebihan jika dilontarkan pada profesi akuntan publik yang melakukan pelanggran kode etik.

Masih segar dimemori kita kasus mega skandal beberapa perusahaan raksasa Amerika. Salah satunya adalah pada pertengahan tahun 2002 perusahaan energi terbesar Amerika, Enron Corp. Harga sahamnya yang beberapa bulan sebelumnya mencapai puluhan dollar AS, dan nilai perusahaannya yang mencapai 48 milyar dollar AS, kini nyaris tak ada harganya. "Keuntungan-keuntungan" yang tertera dalam laporan keuangan Enron beberapa tahun terakhir ternyata adalah kerugian-kerugian yang didandani sedemikian rupa, dengan trik akuntansi yang canggih. Kini, pemegang saham Enron yang mayoritasnya dipegang oleh publik siap menuntut seluruh komponen yang dianggap bertanggungjawab terhadap pengelolaan perusahaan tersebut, termasuk kantor akuntan publik Arthur Andersen. Sulit dipercaya, skandal ini terjadi di Amerika, yang mengklaim diri sebagai pelopor good corporate governance dengan transparansinya, serta memiliki sistem audit dan pelaporan keuangan yang canggih. Masih banyak kasus-kasus lain yang melibatkan profesi akuntan publik didalamnya. Kalau di Amerika, yang sudah sangat maju saja, bisa terjadi penyimpangan informasi publik oleh kalangan akuntan yang begitu parah, bagaimana pula dengan Indonesia?

Kasus yang mirip walaupun tidak sama dengan Enron, Corp. diatas juga telah terjadi di Indonesia. Kita lihat ketika 10 KAP mengaudit 38 Bank Beku Kegiatan Usaha. Jika kita lihat kembali opini yang dikeluarkan oleh 10 KAP tersebut, membuat kita tidak percaya dengan kebangkrutan bank tersebut. Sekedar mengingatkan, ketika itu opin yang dikeluarkan oleh KAP tersebut adalah wajar tanpa pengecualian (unqualified). Sebagaimana kita ketahui bersama, unqualified merupakan kriteria tertinggi opini yang dikeluarkan oleh auditor dan opini ini juga yang paling diharapkan oleh perusahaan. Namun belakangan terbukti bahwa kondisi bank tersebut amburadul dan akhirnya terpaksa harus dilikuidasi.

Soedarjono yang merupakan mantan orang nomor satu di BPKP mengungkapkan bahwa hasil audit akuntan publik terhadap perbankan yang sebelumnya tidak ditemuukan apa-apa, tapi setelah masuk akuntan asing untuk memeriksa, ditemukan segudang masalah (Media Akuntansi no. 1/Thn.1/1999). Dari pernyataan Soedarjono tersebut nampak bahwa ketika akuntan asing menemukan segudang masalah, sepertinya ada sesuatu yang tidak dimiliki oleh akuntan kita dalam mengaudit.

Kritikan tidak hanya berhenti sampai disitu. Menteri keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani juga angkat bicara. Beliau mengatakan bahwa pada saat ini banyak sekali perusahaan yang mengeluarkan laporan keuangan ganda (dubble bookeping) dan akuntan publik yang memeriksa laporan keuangan ganda tersebut telah ikut melakukan kecurangan (Tempo;Desember 2006).

Kritikan-kritikan tersebut mungkin sangat beralalasan, mengingat hal tersebut bukan-lah suatu fenomena yang baru. Berikut adalah laporan dari Dewan Kehormatan dan Pengurus Pusat IAI dalam kongres IAI, pelanggaran terhadap Kode Etik mencakup sebagai berikut :

KONGRES KE (PERIODE)

PELANGGARAN KODE ETIK

V ( 1982-1986)

Publikasi, pelanggaran objektivitas dan komunikasi

VI (1986-1990)

Publikasi, pelanggaran objektivitas dan komunikasi

VII (1999-1994)

Standar teknis, komunikasi dan publikasi

VIII (1994-1998)

Objektivitas, komunikasi, publikasi, dan kerahasiaan

Sumber : Riyanti (1999) dalam Media Akuntansi.

Kritikan-kritikan tersebut bisa benar dan bisa juga salah, tergantung cara kita memahaminya. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa akuntan yang pada intinya merespon kritikan tersebut, bahwa masyarkat tidak mengerti dengan begitu kompleksnya pekerjaan auditor sehingga tercipta expetation gap antara akuntan publik dengan masyarakat. Kita bisa saja menapik setiap kritikan tersebut. Para akuntan publik dan kita semua bisa saja menganggap semua itu hanya gosip belaka. Namun melihat fenomena dan fakta yang ada hal tersebut bisa saja realita yang terjadi dilapangan. Namun terlepas dari itu semua, nampaknya akuntan publik khususnya IAI sebagai lembaga yang mewadahi itu semua perlu berbenah diri. Karena tidak ada insan yang sempurna didunia ini. Justru dengan kritikan lah kita bisa lebih mengarah pada kesempurnaan walaupun itu mustahil adanya.

Ketika Amerika digoyahkan dengan tumbangnya beberapa perusahaan terbesarnya, negara ini langsung berbenah diri. Ini terlihat dengan diterbitkannya suatu aturan yang dikenal dengan Sarbanes-Oxley Act (Sarbox). Aturan ini juga berdampak pada perubahan beberapa standar auditing Amerika yang salah satunya penggantian SAS No. 82 dengan SAS No. 99 yang pada intinya menekankan kewajiban auditor seperti yang dijelaskna dalam SAS No. 01. Itu di Amerika. Lalu apa yang sudah dilakukan Indonesia khususnya IAI dalam membenahi para anggotanya.

PEMBENAHAN DIRI : Geliat sang Penjaga Kepntingan Publik.

Ikatan Akuntan Indonesia masih teringat dengan visi dan misinya. Ya, itulah yang terjadi pada IAI. IAI tidak hanya berpangku tangan dalam menyikapi fenomena “bandel”nya beberapa anggota Ikatan Akuntan Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan IAI, mulai dari tingkat IAI secara keseluruhan maupun tingkat Kompartemen.

Quality review dan compliance review yang diterapkan oleh organisasi profesi (IAI-KAP) maupun Direktorat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (DPAJP) merupakan salah satu langkah IAI untuk meningkatkan kualitas profesi akuntan publik. Langkah ini disambut baik anggota profesi dan mudah-mudahan mendorong praktik akuntan publik akan semakin lebih baik. Quality review oleh IAI-KAP diarahkan untuk memberikan konsultasi perbaikan dan peningkatan mutu kertas kerja akuntan publik dan Standar Pengendalian Mutunya. Compliance review dari Direktorat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (DPAJP) melalui Sub Direktorat Pemeriksaan Akuntan Publik diarahkan untuk memeriksa kepatuhan yang bisa mengarah ke sanksi atas pelanggaran yang dilakukan. Sebelumnya, penilaian mutu KAP dilakukan oleh BPKP. Namun karena kurangnya respon dari organisasi profesi dan kalangan anggota profesi, maka hal tersebut dilakukan perubahan.

Upaya perbaikan etika dan profesionalisme akuntan publik tidak hanya dilakukan oleh profesi itu sendiri. Pemerintah melalui Departemen Keuangan saat ini telah merampungkan RUU AP. Menurut penulis, inilah yang bakal menjadi “tameng” dalam penegakan kode etik profesi. Jika dilihat dari draft RUU AP tersebut, sanksi terhadap Kantor Akuntan Publik dan Akuntan Publik sangat terlihat gregetnya. Bayangkan saja ketika akuntan publik melakukan pelanggaran maka akan dikenakan sanksi pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 tahun dan selama-lamanya 6 tahun dan denda sekurang-kurangnya 50 juta dan sebesar-besarnya 300 juta. Sedangkan KAP dikenakan sanksi pidana sekurang-kurangnya 100 juta dan sebesar-besarnya 2,5 Milyar.

Satu hal yang menjadi pertimbangan kita bahwa sampai saat ini RUU AP ini masih kontroversial. Sebagian besar akuntan publik sangat menolak beberapa pasal dalam RUU tersebut, terutama pasal yang berkaitan dengan saknsi pidana dan rotasi Kantor Akuntan Publik. Ahmadi Hadibroto, ketua DPN IAI dalam kongres luar biasa IAI 2007 mengatakan IAI akan menentang habis-habisan draft RUU tersebut. Ia juga mengatakan bahwa RUU tersebut bukannya membantu profesi akuntan publik malah akan merusak profesi akuntan itu sendiri. Pernyataan Ahmadi tersebut juga didukung oleh Tia Adityasih, ketua Kompartemen Akuntan Publik DPN (Sekarang IAPI). Beliau mengatakan aturan tersebut terlalu memberatkan dan merugikan akuntan publik sebagai sebuah profesi. Tragisnya, permintaan IAI tersebut tetap ditolak mentah-mentah oleh Departemen Keuangan (Depkeu) sebagai regulator yang disiapkan pemerintah untuk menyusun RUU ini, tanpa alasan yang jelas. Direktur Informasi dan Akuntansi Depkeu, Hekinus Manao menyatakan, sanksi pidana diberikan supaya kelompok masyarakat yang bernama profesi audit itu harus memiliki tanggung jawab yang jelas, termasuk tanggung jawab keadilan bila akuntan publik tersebut berlaku tidak adil.

Mungkin inilah salah satu alasan mengapa hingga sekarang RUU AP ini belum disahkan menjadi Undang-undang Akuntan Publik. Memang jika dilihat dari sisi akuntan publik, RUU AP ini begitu mengancam profesi ini. Karena menurut beberapa alasan yang beredar bahwa jika kita telaah sanksi yang diatur dalam RUU tersebut tidak sebanding dengan tanggung jawab yang yang diemban oleh akuntan publik itu sendiri. Namun jika kita lihat dari sisi masyarakat (shareholders dan debtholders), maka RUU AP ini tentunya bisa melindungi elemen masyarakat tersebut. Pertimbangan lainnya pentingnya UU AP ini mengingat besarnya peranan akuntan publik dalam perekonomian suatu bangsa. Oleh karena itu, hal yang menjadi syarat utama profesi ini adalah etika. Karena dengan etika lah ia bisa menjalankan perannya dengan baik.

Hal tersebut diats senada dengan ucapan wakil presiden Jusuf Kalla ketika membuka Kongres Luar Biasa IAI 22-23 Mei 2007 yang lalu. Menurut beliau, bisnis akuntan publik merupakan bagian dari kepercayaan. Kepercayaan tersebut tidak hanya tercermin dalam segi bisnis saja, tapi juga bidang yang lain. Dalam sambutannya beliau mengatakan, “saya sebagai wakil presiden atau presiden tidak bisa menjadi presiden, wakil presiden tanpa tanda tangan anda (akuntan), karena salah satu syaratnya ialah satu hari atau dua minggu setelah kampanye harus ada bukti dari akuntan bahwa biaya kampanye anda (capres) legal”. Oleh karena itu, terkait dana DKP yang saat ini sedang menggema, Wapres mengatakan bahwa jika dia dipecat sebagai wapres, maka dia juga meminta agar akuntan yang mengaudit laporan dana kampanye-nya juga dipecat. Dari sini kita bisa melihat begitu besarnya peranan akuntan publik dalam suatu Negara. Ia tidak hanya sebagai “pemberi tanda tangan peng-legalan” tapi juga dijadikan “tameng” bagi mereka yang mendapat restu akuntan publik. Inilah sebenarnya alasan mengapa etika dan keprofesioanalan sangat dituntut dalam profesi akuntan publik mengingat profesi ini adalah suatu profesi keprcayaan publik.

HUBUNGAN ETIKA DENGAN MUTU AUDIT

Jika ada yang bertanya apa sebenarnya hubungan etika profesi dengan mutu audit kantor akuntan publik? Satu-satunya jawaban yang sederhana adalah etika dan mutu audit sangat berhubungan positif. Ada pepatah mengatakan “jika anda ingin membuat sate kambing hal utama yang anda butuhkan adalah kambing”. Begitu juga dengan akuntan publik, jika anda ingin dipercaya sebagai profesi yang bertanggung jawab, hal utama yang anda butuhkan adalah etika”. Sebagai profesi keprcayaan dan mengingat pentingnya peran akuntan publik dalam suatu negara, maka etika adalah kebutuhan pokok yang tidak bisa di negosiaikan lagi.

Persoalan profesional tidak bisa diukur dengan cara melakukan pekerjaan dan hasilnya. Jika dalam melakukan pekerjaannya dengan cara yang tidak etis dan tidak bermoral, walaupun hasilnya sesuai dengan rencana, akan menjadi tidak baik nilainya. Didalam keprofesionalan banyak keharusan-keharusan yang mesti dipenuhi. Budiman (2001a) mengungkapkan keharusan dalam profesional itu diantaranya harus kompeten, harus bijak, harus jujur, harus kredibel, harus bermoral baik, harus objektif, harus transparan, dan keharusan lainnya. Repotnya pertandingan antara pemenuhan keharusan dan pemenuhan target keuangan menjadi dilema. Sehingga sering menggoda kekuatan moral para profesional. Maka perusakan dari dalam terus terjadi. Yang paling parahnya lagi pemenuhan target keuangan sering menjadi pemenang. Sehingga tidak heran jika saat ini kaum profesional, khususnya akuntan publik paling banyak mendapat sorotan.

Seperti yang telah disinggung diatas bahwa alasan utama mengapa diperlukan atika profesi karena akuntan publik merupakan bisnis kepercayaan. Lalu apa hubungannya dengan mutu audit? Walaupun kita tahu bahwa mutu audit dipengaruhi oleh berbagai faktor, namun semua faktor tersebut tidak bisa terlepas dari etika. DeAngelo (1981) dan Antle (1984) dalam Suta dan Firmanzah (2006) menyebutkan bahwa kompetensi dan kebebasan (independen) sangat menentukan kualitas auditor. Sari (2005) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa keahlian auditor berhubungan positif dengan pengungkapan kecurangan laporan keuangan. Namun menurut penulis, kesemua faktor tersebut tidak akan berjalan tanpa adanya etika dari akuntan publik sendiri. Kita sangat menghargai akuntan publik yang memiliki kompetensi, keahlian, dan independensi. Namun tanpa adanya etika yang baik (sound practice) dari akuntan publiknya, semua faktor tersebut tidak akan berjalan.

SUMBER :

http://anthoex.multiply.com/journal/item/1